Saat
pertama kali aku bertemu denganmu, rasa yang sedikit berbeda itu memang ada.
Tapi kemudian aku anggap rasa itu sebagai hal wajar dan tidak untuk
merasakannya lebih dalam, hingga saat itu tiba ketika aku bersamamu ditempat
duduk yang sama. Kamu tau rasaku? Ada sedikit tidak nyaman namun bahagia bisa
berdua denganmu. Kita hanya terdiam satu sama lain, hal itu membuatku juga
terdiam. Aku kubur dalam-dalam rasa yang aneh itu.
Waktu
yang telah ditentukan sebagai tugas itu telah tiba. Hari demi hari aku pun
berjumpa denganmu diwaktu makan pagi dan tentunya waktu makan malam, bertemu
saat dilapangan dan waktu rapat. Ya, rasa aneh itu tidak muncul kembali, namun
ketika ku dengar alunan suaramu membaca ayat-ayat suci itu aku terdiam. Rasa
itu tiba-tiba muncul kembali, rasa yang sedikit lebih besar namun tetap aku tak
ingin mencoba untuk menggalinya lebih dalam lagi. Aku tak punya keberanian
untuk lebih.
Hari
demi hari, minggu demi minggu dalam waktu 40 hari kita lewati bersama-sama,
merasakan hangatnya suasana kekeluargaan. Tidak terasa waktu begitu cepat
berlalu, tinggal menghitung hari kita semua akan kembali dan tidak bersama
lagi. Tiba-tiba ada sebuah pesan darimu, dan kita menjadi teman. Merasa nyaman
satu sama lain. Aku bahagia.
Tanggal
25 Agustus 2015, acara besar terakhir dalam tugas ini pun tiba, kita bertemu
dalam satu ruangan bahkan kita duduk saling bersebelahan. Tiba-tiba kamu pergi,
aku melihat ponselku dan ternyata ada satu pesan darimu mengajakku untuk makan
bersama dikantin belakang. Aku menyambut ajakanmu dan kita pergi minum bersama.
Obrolan dan candaan singkat denganmu itu berharga.
Acara
telah selesai, aku dan kamu pulang bersama dan kembali dalam satu tempat duduk
yang sama. Bagaimana ini? Rasa aneh itu muncul dengan volume yang lebih besar.
Aku dan kamu lebih sering berkirim pesan satu sama lain beberapa hari ini.
Jujur, hal itu membuatku bahagia. Rasa sepi itu hilang.
Tinggal
10 hari tersisa, tanggal 27 Agustus 2015 pesan darimu benar-benar membuatku
kaget sekaligus bahagia. Kamu bilang, kamu ingin berada dalam hatiku. Jujur,
sebenarnya aku takut. Takut jika pada akhirnya kamu hanya akan
menghancurkannya. Namun dalam pesanmu dituliskan bahwa sejak pertama kali kita
bertemu kamu selalu menyebut namaku dalam doamu setelah sholat.
Bismillahirrahmaanirrahiim…
ku ucapkan basmallah dengan tetesan air mata berharap jika kamu adalah
seseorang yang selama ini aku tunggu. Aku minta kamu untuk senantiasa berdoa
agar Tuhan meridhoi aku dan kamu, begitu pun denganku. Selalu, dan tak akan pernah
aku lupa untuk sebutkan namamu dalam setiap doaku. Aku harap Tuhan akan
meridhoi aku dan kamu calon imamku.
Sejak
saat itu, aku ingin menjadi yang lebih baik untukmu. Berusaha untuk tidak
meninggalkan kewajiban 5 waktuku dan selalu mengajakmu untuk sholat ketika
waktu sholat telah tiba. Aku ingin bersama-sama menjadi pribadi yang lebih baik
bersamamu dan mengharapkan ridho-Nya selalu terlimpahkan pada kita.
Kewajiban
setiap orang untuk membawa buku sumbangan untuk perpustakaan, aku dan kamu
pergi bersama untuk membelinya. Kamu menawarkanku untuk sejenak singgah
dirumahmu, dengan senang hati ku jawab “Ya! Aku mau.” Tapi, rencana untuk
singgah dirumahmu terpaksa kita batalkan mengingat waktu yang semakin siang.
Aku dan kamu pergi ke posko temanmu, obrolan singkat. Adzan dzuhur telah
berkumandang, aku mengajakmu untuk segera sholat. Dan akhirnya kita pergi ke
masjid At-Taqwa untuk sholat bersama-sama. Aku merasa sangat bahagia, dan
semangat untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan lebih baik lagi bersama-sama
dengamu.
Setelah
selesai sholat, aku dan kamu segera pergi untuk mencari buku-buku yang akan
kita sumbangkan untuk perpustakaan. Kita masing-masing membeli dua buah buku
cerita anak-anak. Seharian perjalanan membuat kita lapar, aku dan kamu makan
bersama dengan menu makanan yang sama. Sambil menunggu pesanan, kita
berfoto-foto, bercanda, dan saling bertukar cerita. Makanan pun datang. Setelah
selesai makan, aku dan kamu melaksanakan sholat ashar sebelum kembali pulang.
Kamu tahu? Sepanjang hari itu aku merasa sangat bahagia, sebuah kenangan
berharga bersamamu. Rasanya aku tak ingin hari itu cepat berakhir. Aku
menyayangimu.
Hari
perpisahan tiba, aku merasa sangat bahagia ketika aku mendengar jika kamu akan
kembali membaca ayat-ayat suci itu. Mendengarkanmu membaca ayat-ayat suci
adalah salah satu hal yang paling membuatku bahagia dan membuatku semakin
menyayangimu. Aku berharap kamu bisa menjadi imam yang baik bagi keluarga kita
kelak. Ya, aku rasa memang aku terlalu jauh berharap, tapi memang itulah harapanku.
Hari
waktunya pulang tiba, kita semua memakai pakaian batik yang seragam. Kita semua
berfoto bersama. Tidak terkecuali aku dan kamu, kita berfoto bersama dengan
memakai pakaian yang sama. Aku merasa sangat senang. Ingin rasanya membuat
ratusan bahkan ribuan foto, mengukir kenangan bersama denganmu. Setelah satu
demi satu teman kita pulang, aku dan kamu pulang bersama. Kita meninggalkan
tempat yang sudah membuat kita bisa bersama sekarang. Aku merasa sedih. Terima
kasih, kamu sudah mau mengantarkanku pulang dan makan bersama.
Tiba
saatnya kamu pun harus pulang, meninggalkanku ditempat yang berbeda. Kita tak
bisa bertemu lagi setiap hari, makan bersama setiap hari, bahkan melihatmu lagi
setiap hari. Aku merasa sedih, berat hati dan rasa tak ingin jauh darimu itu
semakin kuat saat kamu harus kembali pulang. Selamatlah sampai tujuanmu, aku
mendoakanmu. Hari demi hari setelah kita tak lagi bisa bersama setiap harinya
kita lalui. Rasa rindu akan kebersamaan kita semakin menyadarkanku untuk tidak
ingin kehilanganmu.
Disetiap
kehidupan, cobaan dan ujian memang selalu ada. Begitu pun aku dan kamu. Ya,
kita dan orang lain. Jujur, aku merasa tidak nyaman dan takut akan kehilangan
dirimu ketika aku tahu pesan-pesanmu dengan seseorang dimasa lalumu atau
mungkin masih sampai saat ini. Tak ada niat sedikit pun untuk membatasimu
melakukan apa yang kamu inginkan bahkan apa yang kamu suka. Maafkan aku, jika
sikap ketidaknyamananku membuatmu merasa dibatasi atau bahkan menganggapnya
sebuah larangan bagimu. Sungguh tidak seperti itu. Yang aku tahu aku
menyayangimu dan tak ingin kehilanganmu, hanya itu.
Sejak
itu, aku jarang menerima pesan darimu lagi. Jujur ingin sekali aku mengawali,
mengirim pesan padamu namun takut jika pesanku hanya akan membuatmu tidak
nyaman. Jika memang kamu belum bisa menetapkan hatimu, aku akan berusaha
mengerti. Tapi bagaimana aku harus bersikap jika kamu hanya diam? Apakah kamu
tak ingin bersamaku lagi? Selalu ku ucapkan namamu dalam doaku, menangis
meneteskan air mata. Memohon diatas sajadah, meminta petunjuk dan hal yang
terbaik untuk kita.
Ya,
memang seharusnya aku tak merasa cemas karena dari awal telah ku ucapkan
basmallah dan sudah aku titipkan semua pada-Nya. Namun hati ini memang punya
rasa, rasa menyayangi dan rasa tak ingin kehilanganmu. Jika aku memang tulang
rusukmu yang hilang, pasti kita akan dipersatukan, namun jika aku memang bukan tercipta
untukmu semoga kita bisa untuk menjadi sahabat. Semoga Tuhan menjawab doaku,
semoga Tuhan menjawab doamu.
Love "N"